Thursday, August 13, 2009

Janur Kuningku

Tok! Tok! Terdengar suara pintu rumah diketuk. Hm, mungkin petugas Indosat mengantarkan surat tagihan langganan Indosat saya. Ternyata petugas Pos. Di tangannya terdapat selembar amplop tebal coklat. Saya bertanya-tanya, untuk siapakah surat yang kelihatannya resmi itu?
"Dengan.... (membaca nama di alamat surat) Panji?" tanya si Pak Pos. "Ya," jawab saya. Makin penasaran. Sebab jarang-jarang saya dapat surat resmi seperti ini. Setelah tanda tangan, langsung saya robek kertas coklat pembungkusnya. Saya jungkirkan dan, tadaaaa.... selembar kertas berwarna merah muda lembut di dalam plastik jatuh. Wangi bunga menyeruak saat saya buka plastik pembungkusnya.

Oooohhh... surat undangan.... Pikir saya. Kira-kira dari siapa yah? Langsung saya buka, di dalamnya tertulis nama salah satu teman saya, perempuan, yang seumuran dengan saya. Oh My God. Di bawahnya tertulis nama calon suaminya, nama orangtua masing-masing mempelai, tempat dan tangggal ijab kabul dilakukan. Tak lupa permohonan doa.

Saya duduk terhenyak. Saya banyak melihat orang menikah, tapi untuk saya pribadi, pernikahan merupakan satu dari sedikit hal yang (hampir) tidak pernah saya pikirkan. Bulan kemarin ada dua undangan pernikahan, satu teman kuliah, satu kakak teman dari rohis sma saya. Sebelumnya ada undangan dari teman saya yang lain, dan sebelumnya lagi, ada undangan rame-rame dari teman sma saya.

Pikiran saya melayang. Saya teringat pernikahan saudara sepupu saya bulan lalu. Saya masih ingat dengan jelas wajah kedua pengantin. Saat malam sebelum ijab-kabul, saat bulek saya menangis sedih bercampur bahagia sembari memeluk putri terbesarnya. Saya masih ingat bagaimana wajah kedua pengantin saat mengucapkan ijab kabul. Saat keduanya sungkem ke orang tua mereka, saat mereka di sandingkan berdua di pelaminan.

Ingatan saya melayang lebih jauh, mengingat saat kakak perempuan saya menikah. Bagaimana sembabnya kedua bola mata bawang sebungkul-nya, bentuk bola mata yang juga saya warisi, bagaimana air mata bahagia dan sedih, mengalir membasahi pipi kakak dan ibu saya. Saya teringat bagaimana wajah kakak perempuan saya saat ijab kabul, bagaimana wajahnya bersinar seperti matahari bersinar di pagi hari. Begitu terang, begitu jernih, begitu segar. Saya teringat bagaimana suasana ijab kabul, keheningannya, kesyahduannya. Dan saat kakak ipar saya mengucapkan janjinya, suaranya begitu tenang, yakin. Suasananya begitu syahdu, seperti seribu malaikat turun mengelilingi mereka berdua. Dan saat doa dibacakan, telinga saya mendengar ringing jernih, seolah malaikat ikut mendoakan. Dan saat kakak saya mencium tangan suaminya, saya baru sadar, kakak saya bukan milik saya lagi, ia sekarang milik suaminya, milik keluarganya. Dan saat kakak saya menoleh ke arah saya, saya hanya bisa tersenyum. Bibir saya bergetar saat mengucapkan selamat. Dan saat kakak saya memeluk saya erat, air mata saya meleleh pelan. Oh Tuhan...

Saya duduk dengan undangan di tangan saya. Saya jadi memikirkan pernikahan. Dan saya memikirkan hal-hal lain di hidup saya. Sudahkan saya sanggup menjadi pemimpin untuk keluarga saya nantinya? Sudahkah saya siap menjadi imam bagi istri dan anak saya kelak?
Dan berbagai hal muncul ke permukaan, saling berkejaran. Berbagai kekhawatiran, berbagai harapan, timbul dan tenggelam seperti ombak di samudra.

Ya Tuhan, saya tidak pernah berpikir sama sekali untuk menikah. Hidup yang selama ini saya jalani sama sekali tidak mendukung untuk munculnya perasaan ingin menikah. Saya teringat perbincangan saya dengan salah satu teman sma saya, perempuan juga. Dan saya jadi teringat bahwa dia akan menikah bulan september tahun ini, bulan depan. Saya jadi lemas.

Saya ingat tentang hadis yang mengatakan, menikah melengkapi setengah din. Bahwa menikah merupakan salah satu jalan ke surga. Bahkan sya ingat candaan salah satu pegawai ANTAM tempat saya kerja praktek dulu, "Pak, jangan sampai kita masuk jurang ya! Kalau kita-kita yang tua ini mungkin tidak apa-apa, tapi yang muda-muda ini belum sempat merasakan surga dunia, jangan diantar ke surga akhirat dulu!". Surga dunia. Saya dan dua teman saya saat itu hanya tertawa. Saya ingat bagaimana guru agama smp saya dulu berkata, menikah itu membuka gerbang pahala lebih luas lagi, karena berbuat baik ke istri adalah berpahala. "Saat kita melihat istri kita, lalu tersenyum, itu juga bernilai pahala!" kata Beliau saat itu.

Yang jadi pertanyaan saya, apakah saya sudah siap untuk menikah? Saya tidak tahu. Tapi saat menilik hidup yang sudah saya jalani, baik yang "terang" maupun yang "gelap" (don't ask, you really really doesn't want to know), jawaban saya hanya satu: TIDAK. Ya Tuhan... Saya benar-benar berantakan. Hidup yang saya jalani benar-benar berantakan. Tanpa arah, hanya hidup untuk, hidup. Tanpa tujuan jelas. Saya benar-benar rusak, bahkan terkadang saya suka berpikir yang tidak-tidak, seperti misalnya,

» buka kalau anda benar-benar ingin tahu «
Sampai saat ini saya masih bisa berpikir sehat, untuk tidak melakukan hal-hal tersebut.

Kalau saya saja tidak bisa menata hidup saya yang berantakan ini, lalu bagaimana saya akan memimpin seorang istri? Sebuah keluarga? Hell, I doesn't even know how to bring my life better. Saya tidak tahu bagaimana harus keluar dari mess yang saya buat...

Salahkah jika saya tidak ingin menikah?
» ........ «

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Terucap selamat kepada sahabat perempuan saya yang akan menikah tanggal 23 September 2009. Semoga Allah memberkati pernikahanmu.











» that tiny tiny regrets «

0 comments: