Saturday, December 31, 2011

Target 2012

Orang sedang ribut membuat resolusi di 2012, jadi saya nggak mau kalah ah. Tapi karena saya nggak secanggih orang-orang, jadi saya namai saja Target 2012 hihihihi

Jadi saya di tahun 2012 ini kepingin.... hmmm apa yah?! Hehehehe saya ini bukan tipe yang membuat rencana, apalagi yang sampai detil ke pernik-perniknya. Saya orang yang go with the flow: hanyut di sungai gara-gara ga bisa berenang.... Eh, bukan ding, maksud saya, tipe yang santai mengikuti keadaan. Walau emang bener saya nggak bisa berenang dan pasti hanyut kalau diceburin ke sungai....

Nggak kok, walau saya tipe yang easy going (gampang didorong kiri kanan soalnya kurus). Saya tetap punya rancangan masa depan. Jadi apakah itu? Mari kita lihat...

Di tahun 2012 ini saya ingin memantabkan posisi saya di pekerjaan saya, kalau bisa mendapat kenaikan gaji (amin ya Allah). Lalu mempersiapkan masa depan dengan investasi (kemakan rayuan mas-mas di bank).

Pacar? Pacar?
Engggg... nggak dulu deh, walau nggak nolak juga kalau dikasih sama Yang Di Atas..... (ngarep.com).

Semoga bisa makin berbakti ke Allah dan orang tua....

Lalu, pengen gadget baru! Muehehehehe (tetep). Saya ingin open headphone fullsize untuk dipakai di rumah. Sekarang ini sedang mencari informasi beberapa tipe (picky at the best: gampang diusilin karena polos, jujur, baik hati dan tidak sombong.... eit, ga boleh protes! Orang ini blog, blog saya weeek).
Lalu Sandisk Sansa Fuze+ atau Samsung YP-M1 untuk menggantikan Sandisk Sansa Clip saya yang sudah butut. Lalu ebook reader: saya ngiler saat membaca iRiver Cover Story yang di jual di sebuah toko buku....

Tablet? Tablet?
Nggak deh, nggak minat tablet, nggak butuh....
Saya malah kepengen Sony Ericsson (Sebentar lagi jadi Sony, tanpa Ericsson) Xpria Pro.

Hiks banyak ya kepengennya saya....

Demikian target saya untuk tahun 2012, siapa tahu bisa dicontek untuk target anda di tahun 2012 hihihihi...

Bismillah...

Monday, December 12, 2011

Review: The Road


The boy turned in the blankets. Then he opened his eyes. Hi, Papa, he said.
I’m right here.
I know.
Biasanya novel yang saya baca adalah novel epic/high fantasy, tapi kali ini saya iseng mencoba novel post-apocalyptic. Sesuai namanya, genre ini berkutat di dunia setelah terjadinya bencana besar, yang mengubah total kehidupan manusia. Judul novelnya adalah The Road, yang bila diartikan ke bahasa Indonesia kira-kira menjadi "Jalan".

Novel ini mengikuti perjalanan seorang pria dan anaknya menuju daerah selatan amerika untuk mencari iklim yang lebih hangat, menghindari musim dingin. Dalam perjalanan, mereka harus menghadapi berbagai macam halangan: salju tebal, persediaan makanan yang menipis, dingin, dan kebrutalan sisa-sisa manusia yang rela melakukan segalanya demi bertahan hidup (termasuk kanibalisme).
You can read me a story, the boy said. Cant you, Papa? Yes, he said. I can.
Dunia tempat novel ini berlangsung adalah dunia yang gelap, dingin, hitam, sepi. Dunia ini setelah terjadinya suatu bencana yang tidak dijelaskan, dengan sisa berupa api yang masih sering membakar hutan dan berbagai benda di permukaan bumi. Langit dan udara dipenuhi asap dan abu, matahari tertutup, bahkan hujan dan salju pun tercampur abu. Rentang waktu di novel ini tidak terlalu jelas, mungkin beberapa bulan, tidak ada penanda waktu selain siang-malam.
The boy took the can. It’s bubbly, he said.
Go ahead.
He looked at his father and then tilted the can and drank. He sat there thinking about it. It’s really good, he said.
Yes. It is.
You have some, Papa.
I want you to drink it.
You have some.
He took the can and sipped it and handed it back. You drink it, he said. Let’s just sit here.
It’s because I wont ever get to drink another one, isnt it?
Ever’s a long time.
Okay, the boy said.
Jujur, awal-awal novel saya sempat malas, seperti saat membaca novel Mistborn buku pertama, sebab dunia yang bleak seperti ini membosankan, tidak ada warna-warna cemerlang yang saya kejar dari genre epic/high fantasy. Tapi setelah meneruskan membaca, saya menjumpai sesuatu yang indah di dunia yang kelam, bleak dan dingin ini: cinta sang ayah ke putranya, kepolosan (innocence) dari sang anak, dan bagaimana mereka berjuang memegang teguh prinsip kemanusiaan. Luar biasa.

Cerita diambil dengan sudut orang ketiga, dan dari semua tokoh, hanya satu yang diberi nama. Bahkan tokoh utama disebut sebagai The Man dan The Boy, tanpa ada penjelasan nama, latar belakang, kota asal, usia dll. Bahkan deskripsi fisik tokoh pun sangat minim, dan hanya di beberapa bagian saja.
We’re going to be okay, arent we Papa?
Yes. We are.
And nothing bad is going to happen to us.
That’s right.
Because we’re carrying the fire.
Yes. Because we’re carrying the fire.
Tidak ada intrik-intrik yang rumit di novel ini, cerita berjalan lurus dan sederhana. Bahkan klimaks bukan adegan penuh aksi, dan memang di novel ini aksi sangatlah minim, namun cerita yang sederhana ini justru mampu membangun emosi yang sangat kuat. Keindahan sederhana yang disuguhkan novel ini benar-benar membekas.

Dialog sangat minim, namun dialog minim ini membuat kesan yang dalam. Dan harus saya akui, salah satu keindahan dari novel ini terletak di dialognya yang sederhana, namun sangat kuat.
Just wait here, he said.
I’m going with you.
I thought you were scared.
I am scared.
Okay. Just stay close behind me.
Ending novel ini sederhana, dan bisa ditebak, namun pembangunan ending, penggambaran suasana dan dialog sederhana yang kuat, membuat ending novel ini tidak berkesan begitu saja. Perpindahan fokus dari sang ayah ke si anak di bagian ending, justru membuat ending yang indah, sedih dan bahagian. Benar-benar menggugah emosi.
I dont know what to do.
Shh. I’m right here. I wont leave you.
You promise.
Yes. I promise. I was going to run. To try and lead them away. But I cant leave you.
Papa?
Shh. Stay down.
I’m so scared.
Shh.
Jangan frustasi dulu dengan awal-awal novel yang sangat kelam dan bleak, karena jika anda mampu bersabar membaca novel The Road ini, anda akan menemui berbagai keindahan yang tidak ada di novel lain. Sederhana, namun sangat membekas.
Recommended!!!

Monday, December 05, 2011

Review: The inheritance Trilogy (N. K. Jemisin)


Catatan: bukan novel vampir...
Saya pertama bertemu buku ini dari rekomendasi satu situs review buku fantasy. Namun awalnya saya kurang tertarik karena isinya berisi mengenai dewa-dewa dan manusia, pengalaman saya membaca buku dengan tokoh dewa selalu kurang sreg: dewa dengan sifat seperti manusia. Maklum, ajaran agama saya hanya mengenal satu Tuhan, yang tidak bisa disamakan dengan manusia. Tapi karena penasaran, saya baca juga buku ini hehehehe....
Once upon a time, there were nothing but a great, churning mass of chaos, power, possibilities, unknown , The Maelstorm. Then some time, Maelstorm spit out a Being, who was wild, churning, eternal, ever changing. But there was nothing: no people, no places, no spaces, no darkness, no dimension, no EXISTENCE. And so He promptly set out to create something, by going mad and tearing Himself. And so EXISTENCE created...

Tiga buku ini memiliki tiga tokoh yang berbeda di tiap buku. Namun setiap buku merupakan satu kesatuan cerita yang berkelanjutan. Saya sendiri lebih suka menyebut sebagai satu kisah yang diceritakan oleh tiga tokoh. Tidak usah khawatir, karena tokoh-tokoh yang terlibat masih saling berkaitan dengan buku sebelumnya. Namun seperti novel Epic Fantasy lainnya, novel ini memiliki kekurangan yang berupa TOKOH YANG BANYAK.
After eons of tearing at Himself, The Being found Himself surrounded by mass of formless immensity of separate substance. It was, however, the earliest form of the universe and the gods’ realm that envelops it.

Gaya penceritaan novel ini unik, berbeda dengan novel-novel fantasi epik yang pernah saya baca. Cerita dituturkan dengan gaya jurnal harian, atau diary, dengan sudut pandang orang pertama pelaku utama. Menebak siapa yang bercerita membuat saya tertarik untuk membaca lebih jauh. Flash back, kisah-kisah, cerita-cerita dan berbagai informasi lainnya diselipkan dengan menarik di berbagai tempat, terkadang diantara dialog internal tokoh utama di suatu kejadian, namun penempatan yang pas membuat sisipan informasi ini bisa diterima dan melengkapi keutuhan cerita.

The Maelstorm, either by change or by It's own awareness, spat out another Being, as mighty as the First , but complete opposite: while the First are embodiment of chaos, change and darkness; this one is embodiment of order, stability and light. And so the Second attacked the First, because the polar opposite of their nature...

Jalur cerita mengalir sederhana, intrik tidak sedalam dan njelimet seperti The Wheel of Time, bahkan masih lebih sederhana dari Mistborn. Plot terjalin rapi, walau mungkin sederhana, namun penulis berhasil memberikan kejutan-kejutan di tikungan-tikungan cerita. Alur cerita diatur dengan pas, tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat. Walau memang span waktu yang digunakan di tiap buku agak berbeda, dimana hanya beberapa minggu di buku pertama, menjadi beberapa bulan di buku kedua dan menjadi beberapa tahun di buku ke tiga.
So they fought, and fought, and fought times a few million jillion nillion, until suddenly one or the other of them got tired of the whole thing and proposed a truce. And then they became lovers. Somewhere between all this — the fighting or the lovemaking, not so very different for those two — they had a powerful effect on the shapeless mass of substance that the first had given birth to. It gained more function, more structure. And all was well for another Really Long Time.

Penokohan terbangun bagus, karakterisasi jelas dan cukup dalam. Tiap tokoh memiliki kharakter yang khas, dan dapat dengan mudah dibayangkan. Di sini, saya menjumpai penokohan lebih lengkap, lebih manusiawi dibandingkan dengan penokohan Brandon Sanderson, yang lebih menjurus ke hitam-putih. Penokohan N. K. Jemisin terasa lebih lengkap, lebih hidup.

Then along came the Third, a she-being, who should have settled things because usually three of anything is better, more stable, than two. For a while this was the case. In fact, EXISTENCE became the universe, and the Beings soon became a family, because it was the Third’s nature to give meaning to anything She touched. If the First is the dark, the Second is the light, then the Third is the between, the BALANCE, neither dark nor light.
Setiap buku ditutup dengann rapih, bagus, memberikan rasa puas setelah membacanya. Tidak banyak novel yang memberikan penutup yang memuaskan, namun masih membuat orang ingin membaca kelanjutan dari buku tersebut. Kebanyakan dari seri novel adalah memberikan suatu cliff hanger, atau suatu misteri yang belum terpecahkan, atau penutup kecil dari suatu plot besar, untuk menarik pembaca ke buku berikutnya.

And so they became a family: the First, who they call Nahadoth, the Second, who they call bright Itempas, and the Third, who they call Enefa, and many child born from them: the godlings and the humans. And so the era of Gods and Humans begin. Until that day, when love, and loneliness, and betrayal destroy everything...

Yang saya temui kurang sreg adalah banyaknya dewa-dewa di buku ini, dan bagaimana setiap dewa menyerupai sifat manusia. Saya mendapat kesan dewa-dewa adalah manusia dengan keabadian dan kekuatan super. Bagaimanapun, penulis novel ini adalah manusia, jadi pantas saja jika penggambaran di novel ini masih dalam batas manusia....
And so the new era begins... An era of slavery, pain, and loneliness....

Secara keseluruhan, saya suka buku ini, walaupun beberapa hal yang terasa kurang sreg. Saya cukup menikmati membaca buku ini, gaya penceritaannya yang mengena, manis, dengan ending yang tidak dapat diduga, membuat satu paket bacaan yang menyenangkan. Kalau anda pencinta novel fantasi, dan tidak ada halangan untuk membaca kisah dengan dewa-dewa rekaan di dalamnya, saya sangan merekomendasikan seri novel ini.
Recommended!!!