Monday, December 05, 2011

Review: The inheritance Trilogy (N. K. Jemisin)


Catatan: bukan novel vampir...
Saya pertama bertemu buku ini dari rekomendasi satu situs review buku fantasy. Namun awalnya saya kurang tertarik karena isinya berisi mengenai dewa-dewa dan manusia, pengalaman saya membaca buku dengan tokoh dewa selalu kurang sreg: dewa dengan sifat seperti manusia. Maklum, ajaran agama saya hanya mengenal satu Tuhan, yang tidak bisa disamakan dengan manusia. Tapi karena penasaran, saya baca juga buku ini hehehehe....
Once upon a time, there were nothing but a great, churning mass of chaos, power, possibilities, unknown , The Maelstorm. Then some time, Maelstorm spit out a Being, who was wild, churning, eternal, ever changing. But there was nothing: no people, no places, no spaces, no darkness, no dimension, no EXISTENCE. And so He promptly set out to create something, by going mad and tearing Himself. And so EXISTENCE created...

Tiga buku ini memiliki tiga tokoh yang berbeda di tiap buku. Namun setiap buku merupakan satu kesatuan cerita yang berkelanjutan. Saya sendiri lebih suka menyebut sebagai satu kisah yang diceritakan oleh tiga tokoh. Tidak usah khawatir, karena tokoh-tokoh yang terlibat masih saling berkaitan dengan buku sebelumnya. Namun seperti novel Epic Fantasy lainnya, novel ini memiliki kekurangan yang berupa TOKOH YANG BANYAK.
After eons of tearing at Himself, The Being found Himself surrounded by mass of formless immensity of separate substance. It was, however, the earliest form of the universe and the gods’ realm that envelops it.

Gaya penceritaan novel ini unik, berbeda dengan novel-novel fantasi epik yang pernah saya baca. Cerita dituturkan dengan gaya jurnal harian, atau diary, dengan sudut pandang orang pertama pelaku utama. Menebak siapa yang bercerita membuat saya tertarik untuk membaca lebih jauh. Flash back, kisah-kisah, cerita-cerita dan berbagai informasi lainnya diselipkan dengan menarik di berbagai tempat, terkadang diantara dialog internal tokoh utama di suatu kejadian, namun penempatan yang pas membuat sisipan informasi ini bisa diterima dan melengkapi keutuhan cerita.

The Maelstorm, either by change or by It's own awareness, spat out another Being, as mighty as the First , but complete opposite: while the First are embodiment of chaos, change and darkness; this one is embodiment of order, stability and light. And so the Second attacked the First, because the polar opposite of their nature...

Jalur cerita mengalir sederhana, intrik tidak sedalam dan njelimet seperti The Wheel of Time, bahkan masih lebih sederhana dari Mistborn. Plot terjalin rapi, walau mungkin sederhana, namun penulis berhasil memberikan kejutan-kejutan di tikungan-tikungan cerita. Alur cerita diatur dengan pas, tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat. Walau memang span waktu yang digunakan di tiap buku agak berbeda, dimana hanya beberapa minggu di buku pertama, menjadi beberapa bulan di buku kedua dan menjadi beberapa tahun di buku ke tiga.
So they fought, and fought, and fought times a few million jillion nillion, until suddenly one or the other of them got tired of the whole thing and proposed a truce. And then they became lovers. Somewhere between all this — the fighting or the lovemaking, not so very different for those two — they had a powerful effect on the shapeless mass of substance that the first had given birth to. It gained more function, more structure. And all was well for another Really Long Time.

Penokohan terbangun bagus, karakterisasi jelas dan cukup dalam. Tiap tokoh memiliki kharakter yang khas, dan dapat dengan mudah dibayangkan. Di sini, saya menjumpai penokohan lebih lengkap, lebih manusiawi dibandingkan dengan penokohan Brandon Sanderson, yang lebih menjurus ke hitam-putih. Penokohan N. K. Jemisin terasa lebih lengkap, lebih hidup.

Then along came the Third, a she-being, who should have settled things because usually three of anything is better, more stable, than two. For a while this was the case. In fact, EXISTENCE became the universe, and the Beings soon became a family, because it was the Third’s nature to give meaning to anything She touched. If the First is the dark, the Second is the light, then the Third is the between, the BALANCE, neither dark nor light.
Setiap buku ditutup dengann rapih, bagus, memberikan rasa puas setelah membacanya. Tidak banyak novel yang memberikan penutup yang memuaskan, namun masih membuat orang ingin membaca kelanjutan dari buku tersebut. Kebanyakan dari seri novel adalah memberikan suatu cliff hanger, atau suatu misteri yang belum terpecahkan, atau penutup kecil dari suatu plot besar, untuk menarik pembaca ke buku berikutnya.

And so they became a family: the First, who they call Nahadoth, the Second, who they call bright Itempas, and the Third, who they call Enefa, and many child born from them: the godlings and the humans. And so the era of Gods and Humans begin. Until that day, when love, and loneliness, and betrayal destroy everything...

Yang saya temui kurang sreg adalah banyaknya dewa-dewa di buku ini, dan bagaimana setiap dewa menyerupai sifat manusia. Saya mendapat kesan dewa-dewa adalah manusia dengan keabadian dan kekuatan super. Bagaimanapun, penulis novel ini adalah manusia, jadi pantas saja jika penggambaran di novel ini masih dalam batas manusia....
And so the new era begins... An era of slavery, pain, and loneliness....

Secara keseluruhan, saya suka buku ini, walaupun beberapa hal yang terasa kurang sreg. Saya cukup menikmati membaca buku ini, gaya penceritaannya yang mengena, manis, dengan ending yang tidak dapat diduga, membuat satu paket bacaan yang menyenangkan. Kalau anda pencinta novel fantasi, dan tidak ada halangan untuk membaca kisah dengan dewa-dewa rekaan di dalamnya, saya sangan merekomendasikan seri novel ini.
Recommended!!!

0 comments: