Monday, November 28, 2011

Review: The Way of Kings

Cover
 It was said how The Voidbringers attack forced humankind out of the Tranquline Halls into Roshar. Even then, humankind still struggle in a war against them. And after on and off and on and off battle, humankind lost their strongest Champion; The Heralds, and the weapon they wield; The Dawnshard. And now, after long, long period of peace, humankind faced again with their arch enemy. No one but a few understand the coming of the biggest war humankind will ever faced, The Last Desolation....
Buku novel yang berjudul The Way of Kings ini sebenarnya sudah keluar agak lama, 2010 kemarin. Buku ini buku pertama dari seri novel Stormlight Archieve dari Brandon Sanderson, dan direncanakan akan terdiri dari 10 buku. Cukup fantastis, dan ambisius. Namun masih dalam ukuran normal untuk novel Epic Fantasy.

Seperti karya-karya Brandon Sanderson lainnya, novel ini kaya akan detil, dengan gaya penceritaan yang santai, detil dipaparkan dengan cukup, tidak berlebihan. Dunia Roshar yang berbeda digambarkan dengan indah, unik, dengan flora, fauna dan penduduknya masing-masing. Setiap ras dibuat dengan gayanya masing-masing, dengan karakter dan ada-istiadat yang berbeda, membuat setiap karakter dan ras menjadi hidup. Walau harus saya akui, terkadang tokoh-tokoh di novel ini terkesan terlalu sederhana, terkesan hitam dan putih.

Di beberapa bagian ada sisipan-sisipan berupa ilustrasi peta, fauna, flora, dll dengan kualitas yang memanjakan mata. Detil dan indah. ilustrasi-ilustrasi ini sangat membantu penggambaran flora-fauna dan tempat-tempat yang digambarkan di novel ini.

Cerita dibangun dengan santai, perlahan namun pasti, dengan beberapa flashback dan penukaran sudut pandang, memberikan pemahaman yang lebih mendalam ke dalam cerita. Plot dibangun tidak terlalu cepat, intrik demi intrik dibuka satu demi satu, memberikan gambaran ke arah alur cerita. Memang sih, saya mendapat kesan cerita perang, pembunuhan dan penokohan sedikit menyerupai The Wheel of Time (yang memang tiga buku terakhir saat ini tengah dikerjakan oleh Brandon Sanderson) atau Mistborn Trilogy (terutama dibagian pembunuhan diam-diam).

Sistem magic dan supranatural dibuat dengan apik, unik, tidak menyerupai sistem yang sudah ada. Stormlight, Surgebinding, Shardblade, Shardplate, Soulcast, semuanya memberikan sumbangan ke dalam pembangunan dunia yang fantastis, namun tidak norak. Memang saya mendapatkan kesan bahwa Shard (Shardblade, Shardplate, dan mungkin Dawnshard jika ditemukan) akan menjadi deux ex machina di cerita, namun saya rasa masih bisa dimaklumi.

A surgeon who abandon his training for spear, a scholar who wish to do thievery, an assassin who wept while he kill, and a warlord who wish to end the war for good. Four people, with different wish, different history, their fate entwined in the face of the terrible danger which is The Last Desolation...

Membaca buku ini, anda harus bersiap-siap dengan informasi-informasi baru (karakter, nama, flora, fauna, tempat, latar belakang dll). Saya sendiri sempat merasa seperti akan overload dengan banyaknya informasi di buku ini. Namun masih lebih ringan jika dibandingkan dengan The Wheel of Time. Atau mungkin itu dikarenakan The Wheel of Time sudah mencapai buku ke-14. Sepertinya saya juga akan menemui overload informasi dari buku ini kalau sudah mencapai buku ke-10....

Secara keseluruhan novel ini sangat bagus, dan saya sangat merekomendasikan buku ini, terutama untuk anda pencinta novel fantasy. Siap-siap saja bersabar menunggu karena seri Stormligh Archieve ini baru dimulai...
RECOMMENDED!!! 

Monday, November 21, 2011

Impression: FiiO E10 DAC (Updated)


Kali ini saya mendapat rejeki untuk bisa memboyong pulang FiiO E10 DAC. Untuk yang belum tahu istilah DAC, gambaran kasarnya adalah soundcard external. Untuk lebih lanjutnya silakan menjelajah google, wikipedia, atau head-fi.org. :D
Saya mendapatkan FiiO E10 DAC ini sejak minggu kemarin, dan setelah digunakan seminggu ini, saya rasa suaranya tidak ada perubahannya lagi

1. Kualitas Bentukan (Build Quality)
Kualitas bentukan dari E10 ini bagus, sangat bagus jika menurut saya. Kecil, ringan, dengan selongsong dari logam. Dari tampilannya memberikan kesan elegan. Dalam paket penjualan kita mendapat kotak kaleng (seperti kotak permen) yang berisi E10, kabel USB-mini USB (input), karet-karet kecil yang berfungsi sebagai kaki, dan beberapa kertas.
Di bagian depan ada jack 3,5mm; tombol bass-boost, LED biru dan knob volume. Di bagian bawah ada switch gain, dan di bagian belakang ada mini usb input ditemani coaxial out dan line out jack.
Bagian depan.
Bagian belakang.
Bagian bawah.

2. Pemasangan
Mudah sekali, tinggal colok E10 ke slot USB di laptop/PC anda dengan kabel USB-mini USB yang disediakan. Tunggu sebentar hingga OS anda selesai memasang driver dan konfigurasi lainnya, pastikan E10 sebagai main output, dan E10 siap digunakan. Saya coba E10 dengan Laptop bersistem operasi Windows XP, Windows 7 dan Linux (Ubuntu 10.04 LTS Lucid Lynx) dan semua dapat mengenali dan mengkonfigurasi E10 dengan tepat, termasuk fitur 24 bit-nya.
Mixer di Windows 7.
Konfigurasi wasapi di Foobar2000


3. Suara
Ini dia bagian yang ditunggu. Perangkat lunak pemutar musik yang saya gunakan adalah Foobar2000 (XP dan 7) dengan wasapi untuk memastikan bit-perfect, dan deadbeef untuk linux.
Saat pertama kali mendengarkan, saya agak terkejut dengan treble yang menusuk dan metallic. Mid agak kering dengan bass yang biasa saja. Tapi sekarang setelah seminggu lebih saya gunakan, suaranya sudah berubah dan menjadi stabil.

Suara FiiO E10 ini jauh lebih bagus daripada soundcard bawaan laptop saya. Dapat didengar dengan jelas suara yang lebih smooth di semua frekuensi, bahkan dengan headphone Audio-Technica SJ33 saya yang cukup garang (walau tidak sebrutal Grado) suara yang keluar terdengar lebih smooth. Saya suka ini.

Treble yang awalnya menusuk sekarang sudah lebih sopan. Jernih, dengan detil yang bagus. Mungkin karena saya agak peka dengan treble, saya menemui treble dari E10 ini masih agak menyengat, apalagi jika rekaman yang diputar termasuk bright. Tidak separah di awal-awal, namun saya lebih suka menurunkan 1db di 5kHz dan 10kHz, dan 2db di 7kHz dan 14kHz keatas.
Update: saat ini (6 Januari 2012) treble dari E10 sudah stabil dan tidak lagi menyengat seperti dulu. Tetap relatif bright, tapi sudah tidak menyengat.

Mid dari E10 ini enak sekali untuk vokal: smooth, detil, dan netral. Jadi tidak mundur maupun maju. Low bagus, agak boomy namun masih bisa ditolerir. Soundstage biasa saja, tidak terlalu luas, namun dengan kedalaman yang lebih bagus daripada soundcard onboard saya.
Separasi jauh lebih bagus, vokal dan alat musik terpisah dengan bagus, tidak tercampur.

Dengan separasi yang bagus, saya menjumpai berbagai bagian dari lagu yang sebelumnya saya tidak tahu ada di situ, seperti backing vocal di lagu Shake It Out oleh Florence + The Machine. Awalnya saya hanya mendengar satu kesatuan backing vocal, dengan E10 saya bisa mendengar detil nada-nada backing vocal yang sedikit berbeda satu dengan lain. Contoh lain adalah di lagu Stardust dan Whatever It Takes dari Michael Buble. Stardust disajikan dengan smooth dan intimate, sedangkan di Whatever It Takes, vokal-vokal (Buble, Ron Sexsmith dan backing) saling menjalin namun masih bisa dibedakan karakternya.

Dengan bass-boost ON, sektor low bertambah beberapa db. Tidak sampai muddy, namun cukup terdengar dan terasa di telinga saya. Mid-bass E10 ini enak sekali: empuk, warm, lincah. Album Mezzanine dari grup Massive Attack terdengar nikmat sekali dengan bass-boost dinyalakan. Bass lebih mendentam, walau raungan gitar jadi terdengar agak terlalu tebal. Mengembalikan equilizer ke nol membantu mengatasi hal ini.
Bass-boost ini memberikan sentuhan warm ke keseluruhan suara, dengan sedikit mengorbankan detil. Malah ditelinga saya, mid jadi lebih basah dan tebal, jika dimatikan mid terasa lebih kering namun detil lebih muncul.

Baik vokal pria, wanita hingga anak-anak ditampilkan dengan bagus oleh E10. Vokal The High Kings yang empuk di Galway to Graceland, vokal jernih Leona Lewis di Bleeding Love, hingga vokal soprano Jackie Evacho yang matang di Lovers semua disajikan dengan bagus sekali: smooth, detil, empuk.

4. Kesimpulan
Dengan kualitas bentukan, fitur dan terutama kualitas suaranya, FiiO E10 ini sangat pantas dimiliki untuk anda yang mengharapkan peningkatan kualitas suara dari soundcard onboard anda. Dengan harga sekitar USD 80 (IDR 750.000), saya sangat merekomendasikan FiiO E10 ini.
Reccomended!!!

 --------------------------------------------------------------------------------------------------

next: review novel The Way of Kings oleh Brandon Sanderson

Wednesday, November 09, 2011

Review: The Alloy of Law

Cover
 Waxillium Ladrian, a tough law enforcer of Rough, called to back to his family seat and to take over as the High Lord of House Ladrian. Still haunted by the memory of a dead woman, he forced to take a bride, which is a task more to save his House than to find someone he love. Everything get messy when he found some mysterious robbery and kidnapping, which involve some people from his past at Rough. Can he escape from the past, and the haunting memory of him killing a woman he love, disentangle the mystery, and save himself from danger that come in front of him? Wax will find life on the big city is even more rough than living on Rough, the part of the world which is said no civilization ever touched...

Review lagi. Kali ini review dari novel Mistborn. Bukan bagian dari Mistborn Trilogy, tetapi masih memiliki kaitan dan suasana yang sama. Bedanya, kali ini novel bertempat di dunia dimana Elend, Vin, dan lain-lainnya sudah menjadi bagian dari mitos dan sejarah.

Tokoh utama novel ini agak berbeda dengan novel Mistborn dan novel-novel lain pada umumnya. Biasanya novel memiliki tokoh yang masih termasuk muda, terkadang remaja. Di novel ini, tokoh utama berumur sekitar empat puluh tahun. Seorang veteran sherrif jika di dunia kita, penegak hukum. Bila dibandingkan dengan dunia Mistborn Trilogy berada, setting novel ini adalah beberapa ratus tahun setelahnya, dan jika dibandingkan dengan dunia kita, saya menebak kira-kira abad pertengahan dimana listrik mulai menyebar, dengan sentuhan western cowboy. Saya menjumpai gaya penulisan dan penceritaan lebih segar dengan suasana yang lebih ringan bila dibandingkan dengan Mistborn Trilogy.

Detil penceritaan tetap khas Brandon Sanderson: detil, jelas, mengalir. Membaca novel ini sama sekali tidak membosankan. Aksi, intrik dan cerita dibangun dengan mengalir, membuat saya tanpa terasa sudah menghabiskan novel ini dalam waktu setengah hari. Faktor keren berupa alloymancy, ferruchemy dan hemalurgy tetap dihadirkan, bahkan dikembangkan lebih luas lagi. Ada tambahan Twinborn, orang dengan alloymancy (misting) dan ferruchemy. Faktor ini membuat cerita dan adegan perkelahian lebih kompleks, dan lebih menegangkan. Dan seru tentunya.

Brandon Sanderson berhasil membuat satu dunia baru yang lebih moderen, namun masih memiliki hubungan dengan dunia Mistborn Trilogy yang menjadi basis dunia moderen ini. Saya bisa dengan mudah membayangkan dunia novel ini sebagai versi moderen dari dunia Mistborn Trilogy. Bagus sekali, membuat saya merasa cepat akrab dengan dunia baru ini.

Masih ada beberapa istilah yang baru untuk saya, dan belum ada penjelasan di buku ini. Mungkin Brandon Sanderson berencana untuk membuat seri baru setelah buku ini. Saya yakin penjelasan istilah dan hal-hal yang ada di buku ini akan diberikan di buku selanjutnya. Untuk sementara ini akan saya simpan hal-hal yang masih belum jelas untuk buku berikutnya...

Secara keseluruhan, novel ini sangat bagus. Kalau anda suka novel dengan aksi di dalamnya, dengan sentuhan western gunslinger, dengan sentuhan humor dan sedikit roman, saya sangat merekomendasikan buku ini. Saya sendiri merasa novel ini memberikan gaya yang fresh setelah novel House of Night. Jika novel House of Night sangat magical, feminim dan emosional, maka novel ini adalah novel maskulin dengan banyak aksi.
RECOMMENDED!!! (very, very recommended indeed!)

Sebuah Pembelaan Diri (?)

Ehm, kali ini saya tidak sedang ingin menulis review. Kali ini saya ingin curhat hehehe...
Seorang teman saya sempat bertanya kepada saya, mengapa novel-novel yang saya review semuanya adalah novel berbahasa Inggris, atau novel versi bahasa Inggris. Beliau mengeluh kepada saya, bahwa kemampuan bahasa Inggris beliau agak pas-pasan untuk membaca novel berbahasa Inggris. Ada pula teman yang sembari becanda, menuduh saya kalau saya membaca novel berbahasa Inggris biar terlihat keren....

Jadi, mengapa saya membaca novel berbahasa Inggris? Pada awalnya, membaca buku (tidak hanya novel) dalam bahasa Inggris adalah untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris saya. Bulik saya yang seorang guru bahasa Inggris bilang kepada saya bahwa jika saya ingin meningkatkan kemampuan bahasa Inggris saya, maka saya harus sering berlatih: berbicara dalam bahasa Inggris, menulis dalam bahasa Inggris, mendengarkan bahasa Inggris dan membaca bahasa Inggris.

Saya suka musik, saya suka menyanyi, saya suka membaca. Saya berpikir, kenapa tidak menggunakan ketiga kesukaan saya untuk meningkatkan kemampuan saya berbahasa Inggris?! Akhirnya saya berlatih bahasa Inggris dengan mendengarkan musik berbahasa Inggris dan membaca dalam bahasa Inggris. Menulis dalam bahasa Inggris di tiap kesempatan, jika memungkinkan. Sayangnya saya belum cukup percaya diri untuk berbicara dalam bahasa Inggris....

Memangnya efektif? Kalau saya secara pribadi berani bilang efektif. Tapi mungkin cara saya cukup berhasil karena saya SUKA melakukannya. Jadi saya cukup menikmati proses belajar saya. Di sisi lain, karena saya hampir tidak pernah berbicara dalam bahasa Inggris, ya skill saya dalam speaking bisa dibilang jelek. Dan saya paling pusing jika diajak bicara grammar, makanya nilai TOEFL bagian grammar saya jeblok hehehe...

Kembali ke kenapa saya selalu me-review buku berbahasa Inggris. Awalnya saya membaca buku, komik, novel dll dalam bahasa Indonesia, seperti remaja biasanya. Lalu saya berkenalan dengan novel Harry Potter, saya masih ingat saat itu saya diberi pinjam oleh teman saya saat kelas 3 SMP, buku seri ketiga dari Harry Potter. Saat SMA, saya bertemu dengan versi asli dari novel klasik Jules Verne 'Perjalanan Menuju Pusat Bumi' (Journey To The Center of Earth), novel Jules Verne favorit saya, dan saya kaget karena ternyata novel aslinya memiliki gaya penceritaan dan suasana yang cukup berbeda dari versi Indonesianya. Dari situlah saya tergerak untuk mencari dan membaca versi asli novel-novel kesukaan saya.

Saya mulai mencari versi asli novel pertama dan novel yang sangat membekas di saya: 'Musin Dingin Yang Panjang' (The Long Winter) karya Laura Ingalls Wilder, yang kemudian saya ketahui merupakan satu dari rangkaian seri Little House. Dikarenakan kota asal saya adalah kota kecil di bawah batu, akses internet amat sulit dan mahal. Koneksi yang umum adalah dial-up yang harga perjamnya adalah enam ribu rupiah. Mahal untuk ukuran saya. Pencarian saya bisa dibilang gagal.

Saat kuliah di Jakarta, fasilitas yang saya nikmati berubah, internet yang dulunya saya kategorikan sebagai barang mahal, kini berubah menjadi barang kebutuhan. Dan dapat diakses dengan biaya yang jauh lebih murah. Saya menggila, melakukan pencarian novel berbahasa Inggris di dunia bawah tanah....(tolong jangan diiikuti ya). Novel demi novel saya cari versi aslinya, dan saya baca semua. Dari situlah saya ketagihan novel versi asli (bahasa Inggris).

Setelah membandingkan novel versi terjemahan bahasa Indonesia dengan versi asli bahasa Inggris, saya merasakan seberapapun kerasnya penerjemah berusaha, akan sangat sulit memindahkan gaya penceritaan penulis ke bahasa lain. Kemudian suasana novel asli yang sama sulitnya untuk dipindahkan ke gaya bahasa lain, pasti akan ada perubahan. Ada juga aspek-aspek bahasa dan adat-istiadat atau aturan dan norma-norma yang kurang pas jika diterjemahkan. Belum lagi istilah-istilah yang seringkali menjadi terdengar aneh, asing, atau panjang. Semakin kompleks dan dalam suatu novel, semakin sulit novel tersebut untuk diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Dan perubahan-perubahan ini saya rasakan sebagai mengganggu dan mengurangi kenikmatan membaca. Karena itulah kebanyakan saya membaca novel dalam bahasa Inggris.

Buat saya yang berimajinasi cukup kuat ini, kenikmatan membaca novel tidak hanya ada di jalan ceritanya, intrik, misteri dan aksi-aksinya saya, namun juga bagaimana setting novel tersebut, suasana yang ingin dibangun, gaya penulisan, dan detil-detil lain yang seringkali tidak terterjemahkan (uh, istilahnya benar tidak ya? Sepertinya kurang enak... saya ingin bilang untranslated) ke dalam bahasa Indonesia. Dan lagi, sedikit banyak, akan ada pengaruh dari gaya penulisan dari penerjemah yang masuk ke dalam penceritaan, sehingga saya merasa hasil terjemahan adalah kurang sesuai dengan apa yang penulis asli inginkan, kurang original.

Jadi, dengan tidak mengurangi hormat kepada pecinta novel Indonesia (saya juga pembaca novel karya penulis Indonesia lho!), kepada penerjemah yang dengan susah payah menerjemahkan novel ke bahasa Indonesia, kepada pihak penerbit novel bahasa Indonesia, saya menemukan saya lebih menikmati novel dalam bahasa aslinya (bahasa Inggris) dikarenakan membaca novel dalam bahasa aslinya membuat saya bisa tahu suatu novel sesuai dengan gaya penulis aslinya.

Sekian sedikit curhat saya, semoga saya tidak menyinggung terlalu banyak orang. Saya minta maaf jika ada yang merasa kurang suka, curhat ini hanyalah saya berbagi pendapat saya. Jika ada yang tidak setuju, silakan saja. Terima kasih.

..............................................................................................

Finished reading Brandonn Sanderson's newest novel: The Alloy of Law today. Expect the review several days ahead... And my new Fioo E10 DAC suppossed to come tomorrow (Nov, 10) so expect the review after I spent time burning and listening to it.

Sunday, November 06, 2011

Review: Twilight's Dawn

Cover.
Daemon understand what it mean loving Jaenelle Angelline: to stand as a lover, a protector, and when she need it, as a knife ready to draw. He also understand what it mean loving Jaenelle, dream made flesh, Witch, someone who born as one of the short lived race... And after her time walk on the Realm end, how will Daemon cope with the loss of his love? Will it healed? Will he love again, when there is someone who secretly have been love him for her entire life? And when the Saetan D. SaDiablo, his loving father and the High Lord of Hell, stop drinking yarbarah, allowing his power, and his self, fade and back to the darkness, can Daemon accept the responsibility as the Heir of the High Lord of Hell? This story is a story which span decades, covering most of unresolved questions, giving some answer and closure after the event in Black Jewels Trilogy, Dream Made Flesh, and Tangled Web. And the bitter sweet ends it was...


Yup, another review. Review ini untuk memenuhi request dari teman saya Diaz yang bosan dengan review novel saya yang banyak vampirnya hahaha... Dan lagi, saya dulu pernah berjanji untuk membuat review-nya, tapi lalu kelupaan...

Kali ini yang saya bahas adalah novel berjudul Twilight's Dawn, buku (kemungkinan) terakhir dari Black Jewels Series. Kenapa (kemungkinan) terakhir? Karena setelah membaca buku ini, saya merasa pintu petualangan yang melibatkan Daemon Sadi, Lucivar Yaslana, Jaenelle Angeline, Saetan D. SaDiablo dan Surreal SaDiablo ditutup. Mungkin akan ada novel lain dalam seri Black Jewels, tapi saya rasa akan menggunakan karakter baru sebagai tokoh utama.

Novel ini terdiri dari beberapa bagian, karena tujuan dari novel ini adalah memberikan penutup untuk Black Jewels Trilogy, penutup untuk memuaskan fans trilogi novel tersebut yang penasaran dengan apa yang terjadi pada tokoh-tokoh yang terlibat. Ada empat bagian: Winsol Gifts, Shades of Honor, Family, dan The High Lord’s Daughter. Namun saya rasa yang paling ditunggu adalah bagian keempat, The High Lord's Daughter.

Gaya penceritaan masih seperti novel-novel di seri Black Jewels lainnya: detil, dalam, romantis dan gelap. Sesaat setelah membaca paragraf pertama, saya dibawa hanyut masuk ke dalam dunia Blood yang magical, romantis, dengan deskripsi yang indah. Intrik dan misteri terasa lebih sederhana, dengan bagian yang membuat gregetan tidak sedalam dan sebanyak novel sebelumnya, namun ada banyak sekali jawaban untuk berbagai pertanyaan yang muncul selama mengikuti seri Black Jewels. Dan ending di akhir novel yang manis, memberikan rasa puas setelah membaca novel ini.

Untuk anda yang telah membaca Black Jewels Trilogy dan novel-novel Black Jewels sebelumnya, novel ini patut dibaca. Anda akan diberikan jawaban pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul di pikiran anda, dan tetap menikmati petualangan ala Blood. Untuk yang belum pernah membaca seri novel Black Jewels satupun, baca dahulu novel sebelumnya. Dengan demikian, anda akan dapat menikmati penutup yang manis dan memuaskan...
Recomended! (untuk yang mengikuti seri Black Jewels)


next: Law of Alloy, novella dari Mistborn Trilogy. Terbit tanggal 8 November, review beberapa hari setelahnya. Insya Allah.